![]() |
Ilustrasi buku dan kopi/Dominika Roseclay-Pexels.com |
Hal semacam ini merupakan peraturan yang lumrah dan menjadi aturan penting bagi kalangan santri di pondok. Bukan buku biasa, toh buku biasa semacam buku pelajaran sah-sah saja dibaca. Namun yang dimaksud adalah larangan membaca buku bernuansa asmara.
Buku novel bernuansa asmara atau berlatar belakang percintaan kerap menjadi problem bagi bagi kalangan santri. Salah satu yang menjadi persoalan munculnya larangan ini karena kerap kali yang namanya manusia semakin usianya bertambah maka akan muncul perasaan suka sama suka antar kedua kedua belah pihak.
Bukannya menjalin hubungan itu dilarang, akan tetapi justru kita sendirilah yang perlu tahu waktu dan keadaan di mana kita berada, istilah Jawanya "gak iso digebyah uyah" (tidak bisa disamaratakan).
Posisi seorang santri di pondok pesantren adalah belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang lain, bukan sebagai tempat untuk mencari sosok pasangan. Bila ingin mencari sosok pasangan, maka silakan cari pasca keluar dari pondok pesantren agar proses belajar kita bisa lebih fokus dan maksimal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa seorang santri, khususnya santriwati yang lebih mengutamakan perasaan daripada logika, maka cenderung mudah terbawa perasaan. Nah dalam membaca buku novel asmara tentu akan menghayati setiap maknanya. Karena di dalam novel tersebut mesti ada konflik, kadang berujung happy ending atau bahkan sad ending.
Sesuatu yang tidak diinginkan oleh pengasuh pondok dari hasil membaca novel ini dikhawatirkan dapat merubah pola pikir seorang santri. Jangan sampai urusan perasaan terbawa ke dalam hati dan menggangu belajarnya yang akan berimbas pada masa depan seorang santri
Maka wajar pula kalau sering adanya penggeledahan yang dilakukan oleh jajaran pengasuh pondok di setiap kamar untuk menyita beberapa barang milik santri, baik berupa buku novel atau bahkan handphone yang bisa saja disalahgunakan untuk melakukan hal-hal yang terlarang.
0 Komentar