Gambar logo NU dan PKB/Foto: Istimewa
Gagarmanik.ID - NU sebagai basis massa PKB sarat dengan konflik internal. Ini berpengaruh besar terhadap kebesaran partai yang seharusnya menjadi wadah tunggal partai NU dan kaum santri.

Mayoritas kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pemilu lebih memilih PDI-P daripada PKB. Hasil survei empat partai politik, responden warga NU yang memilih PDI-P sebanyak 21,9 persen, Gerindra 13,6 persen, Golkar 11,2 persen, dan PKB 11,6 persen. Ternyata PKB bukan partai yang paling favorit di kalangan pemilih NU.

Bahkan NU memiliki perkembangan kuantitas yang sangat besar dari tahun ke tahun. Pada 2005, jumlah warga NU meningkat 25,5 persen dan pada 2023 meningkat secara signifikan menjadi 56,9 persen.

Peningkatan warga NU tersebut lebih disebabkan faktor kaderisasi. Sementara itu, perseteruan masa lalu antara ketua Umum PKB dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi salah satu faktor rendahnya jumlah pemilih warga NU ke PKB.

Lantas, bagaimana relevansinya jika dikaitkan dengan koalisi PKB (Muhaimin) dengan Anis Baswedan sebagai capres-cawapres? Apakah akan menaikkan jumlah pemilih warga NU ke PKB?

Ketua Umum PB NU 2000-2010 (alm) KH Hasyim Muzadi pernah menilai bahwa warga NU selalu bernasib apes. Ketika warga NU mendukung partai lain, ternyata tidak banyak timbal balik yang diperoleh dari organisasi Islam terbesar ini. Sementara ketika warga NU mempunyai partai sendiri (PKB), selalu muncul konflik.

Salah satu otokritik yang dilontarkan Hasyim terhadap para kiai NU yang menduduki kursi dewan kala itu terkait dengan keanggotaan mereka sebagai dewan yang tanpa melalui proses lumrah. Oleh sebab itu, ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, pertama kali yang ia ingatkan kepada warga NU—terutama para kiainya—adalah supaya mereka tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan.

Jika dilihat dari basis sosio-kulturalnya, memang kebanyakan kiai memilih wadah politiknya ke PKB dan sebagian ke PPP. Sebab, sesuai dengan khittah-nya, warga NU secara individual diberi kebebasan untuk memilih wadah politiknya dengan ungkapan yang populer: ”NU tidak ke mana-mana, tetapi berada di mana-mana”.

Dalam setting sosial Indonesia yang begitu cepat berubah seperti sekarang ini, kesadaran masyarakat sudah sedemikian varian, seiring dengan terbukanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan proses globalisasi. Dari aspek ini kemudian melahirkan kesadaran baru terhadap persepsi kepemimpinan, yaitu dari kepemimpinan individual menuju kepimpinan kolektif.

Penulis: Mohammad Ilham Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2023 Universitas Sunan Bonang Tuban

Keterangan: Ini merupakan tulisan opini yang ditulis mahasiswa Universitas Sunan Bonang sebagai bentuk tugas yang diberikan dosen Bahasa Indonesia. Adapun hak cipta tulisan ini ada pada penulisnya.