Merayakan 10 Tahun GTM dan 100 Tahun Pramoedya: Menjaga Api Literasi. (Foto: Gagar Manik)
Gagar Manik - Tahun 2025 menjadi tahun yang istimewa bagi dunia literasi di Tuban. Dua tonggak sejarah bertemu dalam sebuah momen refleksi: perayaan satu dekade Gerakan Tuban Menulis (GTM) dan peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Keduanya menjadi simbol bagaimana literasi tetap menjadi pilar penting dalam menjaga identitas, membangun kesadaran kolektif, dan menciptakan perubahan di tengah masyarakat.

GTM lahir sepuluh tahun lalu dari sebuah mimpi besar: membangkitkan budaya membaca dan menulis di Tuban, sebuah kota yang kaya akan sejarah dan tradisi, namun sempat tertinggal dalam geliat literasi modern. Di sisi lain, Pramoedya Ananta Toer, maestro sastra Indonesia, meninggalkan warisan intelektual yang terus menginspirasi generasi demi generasi. Tahun ini, ketika kedua peristiwa besar ini dirayakan, kita diajak untuk merenungkan kembali arti penting literasi bagi bangsa ini.

Sepuluh tahun lalu, GTM dimulai dari langkah kecil, yang dilahirkan oleh semangat segelintir individu yang percaya bahwa literasi adalah jalan untuk memberdayakan masyarakat. Mereka mengadakan diskusi buku, pelatihan menulis kreatif, dan lomba esai untuk memantik semangat literasi, terutama di kalangan generasi muda. Awalnya, kegiatan ini hanya dihadiri oleh kelompok kecil, namun semangat dan konsistensi para penggeraknya perlahan-lahan menarik perhatian lebih banyak orang.

Tahun ini, untuk memperingati 10 tahun GTM dikemas dengan kegiatan diskusi. Yakni, tagline “Cangkrukan Woyo-Woyo, Sepuloh Tahun GTM & Seabad Pramoedya Ananta Toer.” berbagai acara spesial telah disiapkan. Untuk memeriahkan acara tersebut diisi oleh penggerak literasi, di antaranya; Ki Joyo Juwoto (Penulis Buku Menguak Pram), Komet Djanaka Putra (Akademisi dan Sastrawan Muda Tuban) dan Zubaidi Khan (Pakar Sastra India). Untuk kegiatan bersifat umum yang akan dilaksanakan di Puncak Wisata Banyulangse, pada Senin (27/01/25). Sekadar info bahwa kegiatan ini bersifat umum, remaja, dewasa dan tua. Silakan hadir dan meriahkan.    

Seiring waktu, gerakan ini tumbuh menjadi komunitas literasi yang solid. Dalam perjalanannya, GTM telah menerbitkan berbagai buku antologi, menjadi wadah bagi masyarakat Tuban untuk menuangkan ide dan cerita mereka ke dalam tulisan. Tidak hanya itu, Festival Literasi Tuban yang digelar setiap tahun menjadi salah satu pencapaian besar gerakan ini. Festival ini tidak hanya menjadi ajang berkumpulnya para penulis dan penerbit, tetapi juga menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengenal lebih dekat dunia literasi.

Namun, tidak ada perjalanan tanpa tantangan. Dalam sepuluh tahun terakhir, GTM dihadapkan pada berbagai kendala, mulai dari minimnya sumber daya, kurangnya dukungan, hingga perubahan budaya literasi di era digital. Media sosial yang penuh dengan konten instan sering kali membuat masyarakat kehilangan minat terhadap aktivitas membaca dan menulis yang membutuhkan lebih banyak waktu dan konsentrasi. Meski demikian, GTM terus berinovasi. Mereka mulai memanfaatkan platform digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas, seperti melalui blog komunitas, kelas menulis online, dan webinar literasi.

Perjuangan ini mengingatkan kita pada perjalanan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang tidak pernah berhenti menulis meski hidupnya penuh dengan tekanan dan penindasan. Pramoedya, yang lahir pada 6 Februari 1925, dikenal sebagai salah satu penulis terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Melalui karya-karyanya seperti Tetralogi Buru—yang meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—ia menyuarakan gagasan besar tentang perjuangan, keadilan, dan kemanusiaan. Karya-karya Pramoedya tidak hanya mencerminkan sejarah panjang Indonesia, tetapi juga menyampaikan pesan universal tentang ketahanan dan keberanian.

Peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya ini menjadi momen untuk merenungkan warisan intelektual yang telah ia tinggalkan. Meski sering diasingkan dan dibungkam, Pramoedya tetap teguh menggunakan kata-kata sebagai senjatanya. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga tentang menyuarakan kebenaran dan melawan ketidakadilan. Dalam konteks ini, GTM memiliki visi yang sejalan dengan perjuangan Pramoedya. Gerakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan literasi masyarakat, tetapi juga untuk membangun kesadaran kritis dan menyuarakan ide-ide yang dapat membawa perubahan positif.

Tahun ini, dalam rangka memperingati satu dekade GTM, berbagai kegiatan telah disiapkan. Salah satunya adalah peluncuran buku antologi khusus yang berisi kumpulan karya dari anggota komunitas. Buku ini menjadi simbol perjalanan panjang gerakan ini dalam memberdayakan masyarakat Tuban melalui tulisan. Selain itu, talkshow literasi yang menghadirkan intelektual dan sastrawan dan pameran literasi juga digelar untuk merayakan tonggak sejarah ini.

Pada saat yang sama, peringatan 100 tahun Pramoedya juga diperingati dengan berbagai kegiatan, seperti pembacaan karya-karya sastranya, seminar tentang warisan intelektualnya, dan pameran yang menampilkan dokumen-dokumen pribadi sang maestro. Semua ini menjadi pengingat bahwa literasi adalah warisan yang harus terus dijaga dan dikembangkan.

Ketika kita melihat kembali perjalanan sepuluh tahun GTM dan seratus tahun warisan Pramoedya, ada satu pelajaran penting yang dapat kita ambil: bahwa literasi memiliki kekuatan untuk menjaga identitas, membangun kesadaran, dan membawa perubahan. Di tengah tantangan zaman, semangat literasi harus tetap menyala. Setiap buku yang kita baca, setiap kalimat yang kita tulis, dan setiap cerita yang kita bagikan adalah bagian dari upaya untuk menjaga api literasi tetap hidup.

Selamat satu dekade GTM dan selamat satu abad Pramoedya Ananta Toer. Semoga semangat literasi yang telah dimulai oleh keduanya terus menginspirasi kita untuk melangkah maju, menjaga jejak sejarah, dan menciptakan masa depan yang lebih cerah melalui kata-kata. Satu kata, “hindarkan kaum-kaum intelektual dari laku primitif dan tak bermoral.”