Sumur Gede Desa Remen: Jejak Danyang, Tradisi Wayangan, dan Warisan Leluhur yang Hidup. (Foto: Gagar Manik)
Gagar Manik - Dalam nalar budaya dan mitologi masyarakat Jawa, ada keyakinan yang kuat bahwa setiap tempat memiliki roh penjaga atau sosok leluhur yang berjasa besar di masa lalu. Sosok ini dikenal dengan sebutan dayang—makhluk spiritual yang dipercaya memiliki keterkaitan batin dan energi dengan suatu tempat. Keberadaan mereka bukan hanya dipandang sebagai bagian dari dunia gaib, tetapi juga sebagai simbol sejarah dan identitas sebuah komunitas.

Di Desa Remen, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, keyakinan ini nyata terwujud dalam bentuk penghormatan terhadap Sumur Gede. Sumur ini bukan sekadar sumber air biasa. Ia menjadi situs bersejarah yang diyakini dijaga oleh seorang dayang sakti bernama Mbah Minak Koncar, atau juga dikenal sebagai Mbah Kuncoro Dewo. Dalam kisah tutur masyarakat, Mbah Minak Koncar adalah tokoh utama di balik keberadaan Sumur Gede dan diyakini sebagai pendiri awal wilayah ini.

Sosok Mbah Minak Koncar disebut-sebut pernah ‘berinteraksi’ dengan masyarakat melalui seorang tokoh agama yang melakukan mediumisasi. Dalam proses spiritual itu, muncul informasi yang cukup menarik: bahwa sang dayang ternyata tidak menyukai acara pengajian, namun sangat menyenangi wayangan. Oleh karena itu, dalam setiap tradisi sedekah bumi yang diadakan masyarakat Desa Remen, rangkaian acaranya terdiri dari tahlilan pada pagi hari dan pertunjukan wayang kulit di malam harinya. Bagi warga, ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk penghormatan spiritual dan pelestarian tradisi yang sarat makna.

Kepercayaan terhadap eksistensi sang dayang semakin kuat karena adanya pengalaman-pengalaman mistis di sekitar sumur. Beberapa warga pernah melihat sosok ular besar yang muncul di dekat sumur, dan dipercaya sebagai perwujudan dari Mbah Minak Koncar. Ular dalam kepercayaan Jawa sering kali dipandang bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai simbol penjaga yang kuat dan sakti.

Di sekitar Sumur Gede berdiri tiga pohon besar yang telah ada sejak lama. Pohon-pohon ini bukan hanya menjadi bagian dari lanskap alam, tetapi juga elemen penting dalam tradisi budaya. Ketika acara wayangan digelar, ketiga pohon tersebut berfungsi sebagai cagak (penyangga), tempat di mana layar atau kelir wayang dipasang. Dahulu ada empat pohon, namun kini hanya tersisa tiga karena satu pohon telah mati. Meskipun begitu, tradisi tetap berjalan dan keberadaan pohon-pohon tersebut menjadi pengingat bahwa alam dan budaya berjalan beriringan.

Sumur Gede juga menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat. Air dari sumur ini dipercaya memiliki nilai spiritual tinggi. Sudah menjadi tradisi turun-temurun bahwa siapa pun yang akan menggelar hajatan—baik pernikahan, khitanan, hingga acara kecil lainnya—harus mengambil air dari Sumur Gede. Masyarakat percaya bahwa tanpa air dari sumur ini, nasi yang dimasak untuk hajatan tidak akan matang sempurna. Keyakinan ini tidak dimaknai secara mistis semata, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan adat yang telah diwariskan.

Di sekitar Sumur Gede terdapat sebuah bangunan berbentuk kotak kecil yang dianggap sakral. Konon, di dalam bangunan ini dulunya terdapat tempat pembakaran dupa atau menyan jawa yang biasa dinyalakan saat acara sedekah bumi berlangsung. Membakar ungsep di dekat sumur menjadi tradisi sakral yang dipercaya dapat memperkuat hubungan spiritual antara warga dan sang dayang. Namun seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini mulai ditinggalkan. Kini, aktivitas membakar dupa sudah jarang, bahkan hampir tidak dilakukan lagi, menyisakan kenangan di benak generasi tua.

Tradisi sedekah bumi di Desa Remen dilaksanakan setiap Senin Pahing di bulan Syawal. Ini adalah momen penting bagi masyarakat, bukan hanya sebagai acara ritual, tetapi juga sebagai peristiwa sosial yang mempererat persaudaraan dan solidaritas. Warga berkumpul sejak pagi untuk menggelar doa bersama dan membawa berkat. Sore harinya, suasana mulai ramai dengan persiapan wayangan yang akan digelar semalam suntuk. 

Sumur Gede dan seluruh rangkaian tradisi yang mengelilinginya menjadi bukti bahwa masyarakat Desa Remen masih memegang erat nilai-nilai lokal yang diwariskan leluhur. Situs ini tidak hanya penting secara spiritual, tetapi juga menyimpan potensi sebagai destinasi wisata budaya dan religi yang autentik. Generasi muda bersama tokoh masyarakat mulai bergerak untuk mendokumentasikan sejarah lisan dan memperkenalkan situs ini ke khalayak lebih luas.

Melestarikan Sumur Gede bukan hanya soal menjaga bangunan atau sumur tua, tetapi juga menjaga jati diri, menghormati leluhur, dan merawat hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas.