Achmad Reza Rafsanjani, Ketua Duta Damai BNPT Jawa Timur. [Foto: Gagar Manik]
Gagar Manik - Ancaman paham radikal, intoleransi, dan narasi kebencian di era digital masih menjadi tantangan nyata bagi bangsa Indonesia. Masifnya penetrasi media sosial di kalangan generasi muda membuat arus informasi yang beredar tidak selalu sehat. Konten provokatif, berita bohong, hingga ujaran kebencian dengan mudah menyusup ke ruang-ruang digital. Tanpa bekal literasi yang memadai, anak muda berpotensi menjadi korban sekaligus penyebar informasi yang menyesatkan.

Berangkat dari kondisi tersebut, Global Peace Youth Surabaya bersama Indika Foundation menggelar Mini Bootcamp bertajuk “Freedom of Belief & Culture of Tolerance” pada Sabtu (20/9/2025) di ASEEC Tower Universitas Airlangga. Kegiatan ini diikuti puluhan perwakilan komunitas dan mahasiswa dari berbagai kampus di Surabaya dengan tujuan membekali generasi muda agar memiliki wawasan literasi digital sekaligus menumbuhkan semangat toleransi dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Dalam forum ini, Ketua Duta Damai BNPT Jawa Timur, Achmad Reza Rafsanjani, menekankan bahwa usia remaja dan mahasiswa adalah fase pencarian jati diri yang paling rentan. Di usia ini, rasa ingin tahu sangat tinggi namun sering kali belum diimbangi kemampuan menyaring informasi. Ia mengingatkan bahwa literasi digital merupakan kunci untuk membentengi diri dari paparan narasi kebencian.

Menurutnya, generasi muda tidak boleh begitu saja terbawa arus hanya karena ikut-ikutan tren atau emosi sesaat. Ia juga menekankan pentingnya sikap kritis dan kebiasaan memverifikasi setiap informasi yang diterima. Pesan sederhana seperti “saring sebelum sharing” harus menjadi prinsip dalam menggunakan media sosial. Tidak semua yang viral adalah benar, dan tidak semua yang tampak meyakinkan bisa dipercaya.

Reza menambahkan bahwa generasi muda tidak boleh hanya bersikap defensif dengan sekadar menghindari konten negatif, melainkan harus proaktif menciptakan konten positif. Kehadiran narasi perdamaian, toleransi, keberagaman budaya, dan kebersamaan di media sosial akan menjadi penyeimbang dari derasnya arus ujaran kebencian.

Jika ruang digital tidak diisi dengan konten damai, maka celah bagi narasi kebencian akan terus terbuka. Dengan demikian, anak muda harus berani tampil sebagai kreator konten yang menebarkan semangat toleransi.

Diskusi yang berlangsung dalam bootcamp tersebut juga membuka kesadaran baru di kalangan peserta. Banyak di antara mereka yang mengaku sering menemukan hoaks, provokasi, dan ujaran intoleransi di media sosial. Fenomena saling menyalahkan, menuduh tanpa dasar, hingga mengkafirkan kelompok lain sering kali bermula dari unggahan sederhana yang tidak disaring dengan baik.

Dari pengalaman itu, peserta belajar bahwa intoleransi digital bisa tumbuh dari kebiasaan sehari-hari yang tampak sepele, misalnya menyebarkan meme bernuansa kebencian, menuliskan komentar dengan nada kasar, atau mendukung narasi yang memecah belah tanpa memahami kebenarannya. Literasi digital akhirnya dipahami sebagai tameng yang dapat mencegah generasi muda terjebak dalam sikap reaktif yang berujung pada intoleransi.

Kegiatan ini semakin bermakna karena dihadiri tokoh-tokoh strategis, di antaranya Dr. M. Hadi Wawan Guntoro, S.STP., M.Si, CIPA selaku Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga Jawa Timur yang hadir sebagai keynote speaker.

Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya peran pemuda sebagai garda terdepan dalam menjaga persatuan bangsa. Hadir pula Lastiko Endi Rahmantyo, M.Hum dari DPKKA Universitas Airlangga, serta Dr. H. Muhammad Yazid, S.Ag., M.Si, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya.

Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa melawan narasi kebencian bukan hanya tugas individu, tetapi memerlukan sinergi nyata antara pemerintah, akademisi, tokoh agama, dan komunitas pemuda.

Mini Bootcamp ini pada akhirnya tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi juga ruang pembelajaran kolektif yang mendorong lahirnya kesadaran bersama. Peserta sepakat bahwa literasi digital bukan lagi pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendesak di tengah derasnya arus informasi. Lebih jauh, kegiatan ini mengajak generasi muda untuk bertransformasi dari sekadar konsumen informasi menjadi produsen nilai-nilai positif yang dapat menyejukkan ruang digital.

Kolaborasi antara Global Peace Youth, Indika Foundation, dan Duta Damai BNPT Jawa Timur diharapkan dapat melahirkan agen-agen perdamaian baru yang siap menyebarkan pesan toleransi di dunia maya. Harapan tersebut sejalan dengan cita-cita besar menjaga keutuhan NKRI dari ancaman radikalisme dan intoleransi yang kerap bersembunyi di balik layar gawai.